Suararepublik.id
Jakarta - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, menilai bahwa gerakan buruh tidak hanya bicara soal hak dan kesejahteraan semata, melainkan harus berdiri di atas nilai keadilan dan rahmah sebagai upaya kolektif untuk menciptakan keadilan dalam struktur sosial serta ekonomi.
Hal itu disampaikannya saat acara puncak perayaan Hari Lahir (Harlah) Ke‑70 Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) dengan tema Sarbumusi Berbudaya, Sarbumusi Berdaya, acara tersebut digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada Ahad (28/9/2025).
Gerakan buruh sepanjang sejarah atau kalau kita pikirkan kenapa ada gerakan buruh maka kita bisa katakan bahwa gerakan buruh itu sesungguhnya adalah suatu upaya kolektif untuk mendapatkan satu konstruksi hubungan yang lebih adil antara buruh dengan mereka yang mempekerjakan buruh, antara kaum buruh dengan pemilik modal,” tegas Gus Yahya.
Ia menekankan bahwa tuntutan keadilan yang diperjuangkan buruh merupakan bagian dari perintah Allah, sebagaimana tertuang dalam ajaran Islam. Allah memberikan izin kepada orang-orang yang dizalimi untuk berjuang melawan ketidakadilan. “Ada ayat yang sangat tegas menyatakan bahwa mereka yang dizalimi boleh melawan, karena keadilan adalah nilai pokok yang harus diperjuangkan,” lanjutnya.
Namun, menurut Gus Yahya, perjuangan menuntut keadilan tidak boleh lepas dari nilai rahmah. Ia menjelaskan bahwa rahmah bukan sekadar empati atau perasaan belas kasih, tapi merupakan pilihan sadar untuk peduli dan membantu, terutama bagi yang memiliki kekuasaan dan wewenang. “Rahmah adalah nilai dasar sebelum nilai-nilai lain karena rahmah itu lah tujuan Allah mengutus rasulnya yaitu Sayyidina Muhammad. Rahmah itu adalah sikap kehendak untuk perduli dan bersedia membantu kepada siapa pun, pihak manapun yang membutuhkan bantuan untuk memberikan kemaslahatan kepada pihak lain, ini adalah rahmah,” ungkapnya.
"(Contoh) orang yang memegang wewenang, memegang kekuasaan dia bisa memperturutkan dorongan untuk menggunakan kekuasaan itu bagi kepentingannya sendiri, semau-maunya sendiri, tapi dia bisa memilih rahmah untuk memberikan kemaslahatan kepada pihak lain," tambahnya.
ia menjelaskan bahwa tanpa rahmah, perjuangan buruh bisa mudah terjatuh menjadi aksi balas dendam. Sebaliknya, dengan rahmah, perjuangan menuntut keadilan akan berubah menjadi perjuangan untuk kemaslahatan bersama, bukan sekadar membalas perlakuan tidak adil. “Sekali lagi, rahmah adalah pilihan, maka mari memilih rahmah,” ajaknya di akhir pidato.
Gus Yahya juga menekankan bahwa sebagai Sarbumusi sebagai organisasi yang lahir dari rahim NU, harus terus berpegang pada nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jamaah, yang menempatkan rahmah sebagai landasan perjuangan sosial. “Maka nilai-nilai dasar yang menjadi pondasi dari budaya yang sudah dikembangkan oleh Sarbumusi itu, karena Sarbumusi itu adalah serikat buruh muslim Indonesia yang lahir dari kandungan Nahdlatul Ulama," jelasnya.
Dalam konteks perayaan Harlah ke-70 ini, Gus Yahya menegaskan bahwa budaya dan pemberdayaan yang diusung sebagai tema bukan hanya slogan, tetapi langkah nyata Sarbumusi untuk menegaskan identitas, nilai, dan arah perjuangan ke depan.