Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

SuaraRepublik
10/05/2025, 23.33 WIB Last Updated 2025-10-05T16:33:25Z


Suararepublik.id

Bekasi- jurnalistik, tidak dikenal istilah “berita halus” apalagi “take down berita”. Dua istilah ini justru menjadi simbol dari upaya membungkam kemerdekaan pers sebuah tindakan yang jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. (5/10/2025)


Jurnalis di lapangan bukan sekadar penulis berita mereka adalah saksi sejarah dan penjaga nurani publik. Karena itu, setiap hasil liputan yang telah melalui proses verifikasi dan konfirmasi tidak dapat diubah atau dihapus hanya karena tekanan pihak-pihak tertentu yang merasa terganggu. UU Pers tegas melindungi kerja jurnalistik dari intervensi, ancaman, maupun tekanan ekonomi dan politik.UU Pers Melindungi Jurnalis dari Tekanan


Dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.” Selanjutnya, Pasal 4 ayat (2) menegaskan bahwa “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.”


Dengan dasar ini, segala bentuk tekanan, ancaman, atau permintaan “take down” berita yang sudah dipublikasikan merupakan pelanggaran terhadap kebebasan pers yang dijamin undang-undang.


Pasal 4 ayat (3) juga mempertegas hak wartawan: “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”


Artinya, jurnalis berhak mempublikasikan fakta apa adanya, tanpa harus tunduk pada tekanan dari pihak mana pun.


Hak Jawab dan Klarifikasi Adalah Mekanisme Sah


Jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, UU Pers telah menyediakan jalan yang adil dan beretika, bukan dengan menghapus berita.


Menurut Pasal 5 ayat (2), “Pers wajib melayani hak jawab.” dan Pasal 5 ayat (3) menegaskan bahwa “Pers wajib melayani hak koreksi.”


Dengan demikian, apabila suatu pihak merasa tidak puas terhadap isi pemberitaan, mereka memiliki hak untuk menyampaikan klarifikasi atau bantahan yang proporsional, dan media wajib memuatnya. Mekanisme inilah yang menjamin keseimbangan informasi di ruang publik, bukan uang suap, bukan ancaman hukum, dan bukan tekanan untuk “menghaluskan” fakta.


Tekanan terhadap Pers Adalah Tindakan Melanggar Hukum


Di lapangan, tak jarang jurnalis menghadapi godaan atau ancaman dari pihak-pihak yang merasa terusik. Mulai dari permintaan “berita diperhalus”, hingga tawaran uang puluhan juta rupiah agar berita ditarik. Praktik semacam ini bukan hanya merendahkan integritas jurnalistik, tapi juga bisa dikategorikan sebagai upaya menghalangi kerja pers, yang merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers:


“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kemerdekaan pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”


Dengan kata lain, setiap intervensi terhadap media adalah pelanggaran hukum, dan dapat diproses secara pidana.


Pers Adalah Pilar Demokrasi, Bukan Alat Kekuasaan


Pers memiliki peran vital sebagai pengawal demokrasi, kontrol sosial, dan penyampai suara rakyat. Karena itu, media yang bekerja berdasarkan fakta tidak boleh diintimidasi dengan alasan apa pun. Pers bukanlah alat kepentingan, melainkan cermin nurani publik.


Ketika seseorang atau lembaga meminta agar berita dihapus, diperhalus, atau dibeli dengan imbalan, mereka sejatinya sedang mencoba mematikan fungsi kontrol sosial pers. Padahal, tanpa kebebasan pers, kebenaran akan dikubur oleh kepentingan, dan rakyat akan buta terhadap realitas yang sebenarnya.


Penegasan Akhir


Jadi perlu ditegaskan kembali Dalam dunia jurnalistik yang berlandaskan hukum dan etika, tidak ada istilah “berita halus” dan tidak ada “take down” berita.


Yang ada hanyalah hak jawab dan hak klarifikasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.


Jurnalis yang bekerja di lapangan bukan musuh, melainkan pembawa terang di tengah gelapnya penyimpangan kekuasaan. Menekan media berarti menekan demokrasi , dan di negeri yang menjunjung hukum, tak seorang pun boleh menginjak kemerdekaan pers.

Komentar

Tampilkan