Suararepublik.id
Kota Tangerang - Tempat usaha Massage dan Refleksi JLO yang beroperasi di Jalan Benteng Betawi, Ruko Edelweis No. 8, Taman Royal, Kelurahan Poris Plawad, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang, kembali menjadi sorotan tajam publik. Usaha tersebut diduga kuat menjalankan praktik prostitusi terselubung dengan berkedok layanan pijat dan refleksi.
Dugaan ini menguat setelah awak media memperoleh keterangan dari seorang narasumber internal, sebut saja Rey, yang mengaku mengetahui secara langsung mekanisme tarif serta pola pembagian uang yang berlaku di lokasi tersebut.
Menurut Rey, setiap pelanggan dikenakan tarif Rp370.000. Dari jumlah tersebut, Rp200.000 menjadi bagian terapis, sementara Rp170.000 wajib disetorkan kepada pihak manajemen sebagai ketentuan yang telah ditetapkan.
“Tarifnya Rp370 ribu. Terapis terima Rp200 ribu, sisanya Rp170 ribu ke manajemen. Itu sudah aturan,” ungkap Rey kepada awak media.rabu (24/12/2025) di kedai kopi wilayah Tangerang
Rey menegaskan, pola pembagian tersebut bersifat sistematis dan telah berlangsung cukup lama, sehingga tidak dapat dipandang sebagai praktik individu semata. Fakta ini memunculkan dugaan bahwa aktivitas di lokasi tersebut melampaui izin usaha pijat dan refleksi, yang secara regulasi seharusnya berorientasi pada layanan kesehatan dan relaksasi.
Keberadaan tempat usaha tersebut di kawasan ruko yang berdekatan langsung dengan pemukiman warga turut memicu keresahan sosial. Warga mempertanyakan sejauh mana pengawasan dari instansi terkait, termasuk aparat penegak hukum dan pemerintah daerah, terhadap operasional usaha yang diduga menyimpang tersebut.
Hingga berita ini ditayangkan, pengelola JLO yang biasa di sebut mami Puja telah dikonfirmasi suararepublik.id untuk dimintai klarifikasi dan hak jawab, namun belum memberikan keterangan resmi , pada Kamis (25/12/2025)
Ironisnya, dugaan praktik tersebut mencuat di tengah julukan dan visi Kota Tangerang sebagai “Kota Berakhlakul Karimah”, sebuah identitas moral yang selama ini digaungkan melalui program rutin keagamaan, pendidikan karakter, serta pembinaan nilai-nilai akhlak mulia bagi masyarakat. Visi ini dimaksudkan untuk memperkuat moralitas dan etika dalam kehidupan sehari-hari warga, dengan dukungan aktif pemerintah kota dan elemen masyarakat.
Namun, munculnya dugaan prostitusi berkedok usaha massage justru menjadi tamparan keras terhadap konsistensi penerapan visi tersebut di lapangan. Publik menilai, jika dugaan ini benar, maka slogan Kota Berakhlakul Karimah berpotensi kehilangan makna substantif dan berhenti sebatas jargon seremonial, tanpa pengawasan dan penegakan hukum yang tegas.
Publik menegaskan bahwa persoalan ini tidak boleh berhenti pada klarifikasi semata. Aparat penegak hukum, pemerintah daerah, serta instansi pengawas perizinan ditantang untuk menunjukkan tindakan nyata dan transparan, bukan membiarkan dugaan praktik menyimpang berlangsung di tengah pemukiman warga.
Jika dugaan ini terus diabaikan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya ketertiban umum, tetapi juga kredibilitas aparat dan wibawa visi Kota Berakhlakul Karimah itu sendiri. Masyarakat kini menunggu, apakah hukum benar-benar ditegakkan, atau justru kepercayaan publik kembali terkikis oleh sikap diam aparat.
(Nur)


